Di negara maju pun, berbagai tempat ibadahpun sampai sekarang tetap menggunakan perangkat komunikasi tradisional, yang dapat dilakukan oleh siapa saja dengan harga murah, mudah membuatnya dan dilakukan secara pertisipatif dari seluruh lapisan masyarakat. Bisa dalam tingkat lokal maupun regional.
Kita dapat memperhatikan apa yang terjadi di negara majupun tetap menggunakan teknologi komunikasi tradisional, tidak melulu setelah bisa membeli atau membuat teknologi komunikasi modern terus yang lama ditinggalkan. Baik di Jepang, di seantero Eropa maupun Amerika, China, dll, juga menggunakan teknologi komunikasi tradisional yaitu "lonceng". Mengapa? Di negara maju bisa jadi yang namanya aliran listrik tidak pernah putus.
Bagaimana dengan Indonesia, jika hanya mengandalkan teknologi modern yang notabene selalu tergantung kepada energi listrik (BBM, surya, angin dll). Apalagi di bagian terpencil (di desa-desa lereng gunung berapi, pulau-pulau kecil, di tengah hutan Papua, Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi).
Ada yang berfikir mereka lebih siap daripada orang-orang kota dalam menghadapi bencana, karena masih mempertahankan sistem budaya komunikasi tradisional dalam menghadapi bencana atau untuk fungsi komunikasi lain.
Orang-orang kota bukannya tidak tahu tetapi tidak mau atau gengsi (tidak modern katanya). Mereka tahu karena kota besarpun awalnya desa-desa kecil yang punya sistem komunikasi sendiri. Hanya seiring dengan perkembangan kota tersebut perangkat tradisional tersebut seringnya hanya disimpan di museum sebagai tontonan. Bahkan seperti yang terjadi di Banyumas dan sekitarnya sejenis kentongan sekarang sudah dilombakan atau difestivalkan sebagai kreatifitas seni pertunjukan dengan beraneka modivikasi, akhirnya tidak jarang menghilangkan fungsi awal sebenarnya.
Kalau kita berkunjung di beberapa kota di Jawa masih banyak juga yang mencoba mempertahankan fungsi kentongan, kelurahan atau pos-pos ronda masih terdapat kentongan dan menempel kode-kode memukulnya serta penjelasan fungsinya. Dari berbagai kalangan masyarakat dapat menggunakannya (partisipatif seluruh lapisan masyarakat yang pertama mengetahui adanya sesuatu (bencana atau berita penting) untuk disosialisasikan kepada masyarakat umum.
Bergesernya fungsi-fungsi alat2 tersebut sekarang juga sangat variatif hingga di istana negarapun sampai sekarang masih ada "gong" yang fungsinya sangat seremonial saja ketika presiden membuka suatu pertemuan penting atau dalam acara-acara peresmian. Fungsi yang lain yang menjadikan kentongan bukan lagi milik masyarakat umum: hal ini terjadi ketika kampanye pemilu salah satu partai pengikutnya menggunakan kentongan untuk alat mengumpulkan massa (terjadi di Solo dan Jogja), yang akhirnya masyarakat lain bukan pengikut partai tersebut menganggap kentongan adalah simbol partai tersebut sehingga fungsi kentongan tidak universal lagi. Juga terjadi di Bali, kentongan dalam pura yang awal fungsinya untuk upacara keagamaan dan umum juga ada yang memanfaatkan untuk kegiatan partai.
Tidak kalah ketinggalan para demonstran di depan kantor Bapenas membawa kentongan dan membunyikan tanda yang menyatakan dia dalam bahaya (kentongan dipukul terus menerus dengan cepat atau Kode "Titir = Bahaya" yaitu Utang Indonesia kepada Bank Dunia terlalu besar ini adalah bahaya. Di Muara Enim kentongan beserta senter untuk mengusir gerombolan gajah yang merusak sawah2 penduduk. Dan masih banyak lagi.
Di masjid, pura, vihara dan gereja sampai saat ini masih bisa dilihat keberadaan kentongan, beduk atau lonceng yang berfungsi untuk mengundang atau sebagai tanda waktu beribadah. Di kota besar masjid-masjid besar ada yang tidak menggunakan dan selalu repot pada gilirannya listrik tidak aktif.
Kembali ke ide penelitian tentang teknologi komunikasi tradisional di Indonesia dapat dipertunjukkan perbedaan-perbedaan yang ada, baik bentuknya, bahannya, lama pemakaian (umur), cara membuatnya, alat untuk membuatnya, berapa orang untuk membuat sebuah, cara menggunakannya (di tabuh, di pukul, dipukulkan ke yg lain, di goyang-goyang (angklung, lonceng), ditiup (seruling, peluit), kode-kodenya beserta fungsi dari kode tersebut. Jangkauan suaranya, efektif penempatanya, organisasinya dan banyak sekali yang bisa di gali. Permasalahan di atas sangat penting untuk diteliti dan digali manfaat kearifannya untuk membantu early warning system baik lokal maupun regional.
Bagi yang tahu tentang wilayah bencana dapat bekerjasama dengan para pelaku budaya tersebut untuk menunjukkan lokasi-lokasi yang tepat dan efektif untuk menempatkan jaringan kentongan-kentongan tersebut. Dimana terbesar hingga cabang-cabang dan rantingnya. Di mana paling dekat dengan sumber bahaya dan dimana yang paling aman. Sehingga bentuk atau besaran kentongan dapat mengindikasikan rawan dan tidaknya wilayah tersebut terhadap bencana alam disekitarnya, he....he.....
Selamat meneliti bagi yang tertarik.
Kamis, 21 Mei 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar